Siapa tak kenal tikus. Binatang pengerat yang doyan apa saja, yang cerdik dalam mencuri, yang mampu mengerat segala. Binatang yang tidak hanya rakus, tapi juga kotor, bau, dan menjadi musuh manusia. Kini tikus telah menjadi sangat populer di negeri ini karena ia dianggap merepresentasikan perilaku para “tikus berdasi” yang doyan menggerogoti kekayaan negara dan mencuri uang rakyat: koruptor.
Sama dengan tikus, para koruptor melakukan perbuatannya dengan sembunyi-sembunyi, penuh kewaspadaan, dan terencana. Sama dengan tikus, para koruptor menggerogoti dengan rakus apa saja: kertas, pipa, kabel, beras, dan sebagainya (hanya saja, tikus berdasi ini mampu memakan benda-benda yang tikus alami tidak mampu mengeratnya, seperti bangunan, jembatan, dan jalan tol). Namun, berbeda dengan tikus yang mencuri karena dorongan naluri untuk bertahan hidup, para koruptor ini menilap uang negara untuk keserakahannya yang tanpa batas. Berbeda dengan tikus yang terus mencuri karena tidak tahu dosa, para koruptor terus dan terus korupsi karena tidak takut dosa.
Antara Tahu Dosa dan Takut Dosa
Mereka yang disebut koruptor di negeri ini, dapat dipastikan orang-orang terpelajar. Mereka berasal dari kalangan terdidik yang sesungguhnya tahu bahwa korupsi itu perbuatan jelek yang ganjarannya adalah dosa. Masalahnya, pengetahuan mereka itu tidak lantas mendorong mereka untuk merasa takut melakukan korupsi. Mengapa bisa begitu?
Kalau masalah ini ditinjau dari sudut pandang pendidikan, dapatlah dikatakan bahwa mereka itu adalah buah dari sistem pendidikan kita yang selalu mendewakan pengetahuan. Dengan sistem pendidikan seperti itu, wajar bila para terdidiknya kemudian menjadi orang-orang yang “ahli tahu”, tetapi bukan “ahli mau”. Mereka tahu sesuatu itu jelek, tapi tetap melakukannya. Mereka tahu dosa, tetapi tidak mau meninggalkannya. Apakah karena itu kemudian kita layak mengambil kesimpulan bahwa kurikulum pendidikan nasional jelek dan perlu dirombak? Tepatkah, jika penyakit kronis ini diobati dengan perubahan kurikulum?
Adalah menarik, memperbincangkan wacana mengenai kurikulum antikorupsi yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi wacana itu dilontarkan di tengah pusaran arus korupsi yang amat dahsyat, di sebuah “Republik Tikus” yang menempati peringkat atas negara terkorup dunia, yang konon di sana korupsi sudah menjadi perilaku yang wajar, yang seorang pejabat justru akan disebut “gila” jika tidak melakukannya. Menurut Kemdiknas, kurikulum antikorupsi harus diajarkan kepada anak-anak bangsa ini bahkan sejak usia prasekolah. Karena itu, diwacanakanlah bahwa 2011 nanti antikorupsi akan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, dengan slogan: “15-20 Tahun Korupsi Sudah Tak Zaman Lagi”. Sebagai semacam uji publik, wacana ini relatif berhasil mengundang perhatian banyak kalangan.
Dalam kaitan ini, penulis ingin memberikan sumbangsih pemikiran yang semoga bermanfaat. Pertama, menurut hemat penulis, gagasan kurikulum antikorupsi patut disambut positif. Bagaimanapun, seluruh elemen bangsa harus diberi kesadaran (kalau perlu indoktrinasi) akan bahaya korupsi, dan mendidik anak sejak dini mengenai kejahatan korupsi menjadi bagian dari itu.
Kedua, antikorupsi sejatinya hanya salah satu elemen saja dari pendidikan karakter. Karena itu, sebaiknya wacana pendidikan antikorupsi ini digagas dalam konteks pendidikan karakter bangsa, jadi tidak terkesan parsial dengan tema-tema pendidikan moral yang lain, semisal antipornografi, antipornoaksi, deradikalisasi, antiterorisme, dan sebagainya. Kemdiknas mesti membuat grand design pendidikan karakter yang akan menjadi acuan pembentukan karakter bangsa Indonesia untuk masa yang akan datang, include di dalamnya pendidikan antikorupsi.
Antara Misi Besar, Kesungguhan, dan Strategi
Ketiga, Kemdiknas harus serius dengan misi besar ini. Sebab, harus diakui bahwa Kemdiknas sendiri saat ini telah menjadi salah satu kementerian yang paling rawan korupsi. Tingkat korupsi di kementerian ini, menurut data ICW (Indonesia Corruption Watch), dari tingkat elite birokrasi sampai tingkat pejabat rendahan, sudah sangat mengkhawatirkan. Jika Kemdiknas serius dengan misi besar nan mulia ini, ia harus berani mengganyang seluruh jajaran birokrasinya yang korup, dari level pejabat pusat sampai tingkat provinsi, kabupaten/kota, UPTD di kecamatan, bahkan guru dan para pengelola sekolah. Jika tidak, pendidikan antikorupsi ini hanya akan menjadi bahan cemoohan peserta didik. Betapa tidak, mereka diajari antikorupsi, tetapi guru atau kepala sekolahnya masih terus melakukan aksi pungli, atau menerima suap, dan semua itu dilakukan di depan mata mereka!
Keempat, wacana antikorupsi merupakan ranah pendidikan afektif, karena itu tidak perlu antikorupsi menjadi mata pelajaran tersendiri. Cukuplah ia terintegrasi dalam mata pelajaran lain. Maka, bagian paling krusial dalam wacana kurikulum antikorupsi ini sesungguhnya bukanlah pada susunan materinya, melainkan pada metode pembelajarannya. Selama ini, kurikulum pendidikan moral dan agama sesungguhnya sudah lebih dari bagus pada tataran muatan (content), namun harus diakui bahwa keduanya telah gagal diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik. Akibatnya, tawuran, pergaulan bebas, kriminalitas, dan segala bentuk dekadensi moral lainnya marak di mana-mana, dan para pelakunya tidak jarang adalah mereka yang memiliki nilai pelajaran moral dan agama yang bagus. Kegagalan pendidikan moral dan agama ini tak lain karena kesalahan metode pembelajaran yang diperparah dengan sistem evaluasi yang hanya mementingkan pengetahuan kognitif.
Tidak boleh tidak, Kemdiknas perlu merancang strategi pembelajaran antikorupsi yang efektif agar pendidikan antikorupsi tidak bernasib sama seperti Pendidikan Moral Pancasila ala Orde Baru yang—lagi-lagi—terlalu berorientasi pada pengetahuan kognitif sehingga hampir sama sekali tidak meninggalkan bekas afektif dan psikomotorik. Karena ini pendidikan moral, maka metode keteladanan (uswah hasanah) menjadi sangat krusial di sini. Dalam konteks ini pendidik, tenaga kependidikan, pengelola lembaga pendidikan, dan para pejabat pada dinas terkait harus siap menjadi figur teladan antikorupsi bagi para peserta didik. Tanpa keteladanan tersebut, akan sangat sulit mengharapkan keberhasilan pendidikan antikorupsi ini.
Last but not least, pendidikan antikorupsi mestilah melibatkan semua pihak. Mustahil kerja besar ini dilakukan sendiri oleh Kemdiknas. Maka, penting bagi Kemdiknas untuk bekerja sama dengan institusi terkait seperti KPK, Kejakgung, dan Polri. Dalam kaitan ini, political will dari pemerintah untuk memberantas korupsi mutlak dibutuhkan, sehingga “ruh” antikorupsi ini menjalar dan menjiwai setiap gerak langkah seluruh komponen bangsa, terutama institusi-institusi penegak hukum serta lembaga peradilan. Kalau sikap pemerintah masih setengah-setengah seperti saat ini, yakinlah bahwa slogan pendidikan antikorupsi tersebut akan tinggal menjadi slogan, dan sampai kapan pun negeri ini akan tetap menjadi Republik Tikus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar